• Bokep Maniak

    pop cash

    Tidak Sombong Pada Pecinta Sinetron dan Lagu-lagu Cinta


    Dalbo Survey Center (DCC)
    Makin banyak lagu cinta yang menye-menye di televisi, saya pikir, akan semakin baik buat generasi muda kita. Apalagi penyanyinya adalah remaja tanggung dari SD, SMP, SMA. Makin cengeng lagu mereka, makin ”hidup” lah suasana. Yeay, hidup inbox-dahsyat <3, juga sinetron-sinetron (yang katanya tak mendidik). Abadilah kalian dalam...
    Duh Gusti, entah mengapa saya kok jadi senang dengan keadaan macam ini. Banyaknya lagu cinta melow-menye-menye dan aneka sinetron remaja akhir-akhir ini membuat saya jadi kian bersemangat. Kalau perlu, semua media elektronik dan online diharuskan makin rajin menyajikan komoditi macam ini. Miapah?  Ya, tentu saja rating lah. Tanpa rating yang bagus, iklan macet, tak ada pemasukan ke media dan pekerjanya mau makan apa? Atau mau disuruh ngerikiti buku filsafat, teori sosial, atau novel Freddi S?
    So, orang kurang kerjaan macam apa yang hari ini menuntut acara televisi dipenuhi pengajian dan dzikir massal? Apa yang bisa diharapkan dari acara nangis massal sambil berdzikir, menyadari neraka sudah begitu dekat, sehingga perlu menangis agar Tuhan iba. Tapi, sepulang pengajian, ya, mohlimo lagi. Orang koplokmacam apa yang menyarankan televisi dipenuhi dengan sajian ”berkualitas dan mendidik” macam diskusi intelektual muda dan aktivis kampus? Apa iya, penonton televisi itu ndak ngerti kalau ”kegarangan” aktivis kampus itu saat masa-masa kuliah saja? Karena, setelah kuliah, mereka juga bakal ambil bagian dari ketiak basah sistem; menari di pos-pos kedzaliman sambil mengencani purel karaoke; melorot bra mbak-mbak purel dengan iringan ndangdut koplo yang menghentak-hentak nurani.
    Atau televisi perlu dipaksa secara khusus menayangkan kegiatan rutin pers mahasiswa — dengan media alternatif kebanggaan semua umat — yang seneng pidato ndakik-ndakik; belajar jurnalistik bersama Tempo, Kompas, Memorandum, dan Pos Kota, agar makin jos kegiatan bermedia alternatif. Tapi, setelah mereka lulus, ya, alumninya bergelantungan di janggut pak brewok. Cih! Atau, mungkin ada ide-ide sudrun lainnya yang menyarankan televisi menyajikan tayangan bedah buku-buku sosial yang justru kerap membuat pembacanya asosial.
    Pemilik televisi di Indonesia, teruslah seperti ini. Namanya juga aktivis gaya-gayaan. Tidak perlu seberapa diambil pusing rewelnya mereka. Teruslah di jalanmu kini :*
    Makin hari dunia jadi penuh sesak dengan keberadaan para hakim-hakim baru kehidupan. Makin banyak sales-sales yang menjajakan ideologi, wacana, budaya dan kebenaran. Makin banyak pula pengganti Tuhan yang mengetok palu untuk memutuskan benar-salah. Kalau dulu hanya MUI, lhadalah kok sekarang muda-mudi juga ikut-ikutan.

    Hari ini remaja-remaja kekinian hanya rajin memberi tawaran pada kebudayaan lama, ideologi usang, pemikiran-pemikiran sontoloyo dan hasil-hasil penelitian yang tak menambah ketakjuban pada Gusti Pengeran dan membuat pelakunya kian tercerabut dari akar kebudayaannya. Tapi diantara mereka jarang yang rajin mengkaji lagi relevansi dagangan, manfaat, kondisi barang, dan cara mereka memasarkan itu sudah basi atau tidak. Sebenernya orang-orang yang suka mencibir para penonton tayangan (yang katanya) tak mutu itu sedang jomblo atau bagaimana, sih?! Bukankah (anggaplah) seburuk-buruk penonton televisi itu juga bebas berkehendak dan memiliki kemerdekaan memilih apa yang mereka tonton? Kalau nanti mereka ini wadul ke komnas HAM tau rasa lo. Suka ngomongin HAM, tapi dilaporkan karena HAM bisa tau rasa nanti.
    Baik televisi dan para hakim-sales-tuhan itu sama-sama menjajakan dagangannya di pasar peradaban Indonesia. Kalau ada salah satu pihak yang dangangannya tak laku, jangan lantas marah-marah tanpa mempertanyakan tanpa melihat dengan jujur seperti apa kedalaman mereka. Masa-masa ketika televisi menang telak menguasai muda-mudi adalah waktu yang tepat untuk kembali ke bilik masing-masing untuk berkontemplasi.
    *
    Sebuah ide selalu berangkat dari proses panjang pergulatan-pergulatan hidup. Begitu pula dengan manusia di hadapan aneka dagangan. Manusia pun akan bergulat dengan dirinya sebelum memutuskan membeli dagangan macam apa. Bahkan, ada juga kelompok-kelompok manusia yang tak punya pilihan lain dan terpaksa memilih.
    Bisakah hakim-sales-tuhan itu sedikit berendah hati dengan orang yang jenuh dengan tamparan kenyataan hidup dan memilih nyelempitsambil kebas-kebus, ngopi sambil menonton tayangan tak mendidik dan mesam-mesem dengan lagu cinta? Maka, kalau suatu saat penonton telenovela dan bocah-bocah modis nyanyi lagu cinta makin membeludak, jangan sembrono menganggap mereka jahiliah dan menyama-nyamakan mereka dengan batu berlumut. Juga kalau ada mahasiswa sekarang lebih senang main dokter-dokteran di kamar kos dengan pacar ketimbang mengikuti diskusi filsafat, maka jangan anggap pecinta dokter-dokteran sebagai indikator dekadensi zaman.
    Siapakah hari ini yang berhak menilai baik-buruk? Siapakah yang hari ini berhak menentukan standar nilai dan keyakinan? Atau memang hobi orang sekarang itu menentukan baik-buruk suatu keadaan dan menjadi hakim moral sekaligus menjadi tuhan.
    Tentu saja masing-masing dari kita lupa bila tidak ada bayi yang sejak dilahirkan sudah hobi diskusi, suka telenovela, suka dokter-dokteran dan suka berorganisasi. Ada kompleksitas dari proses panjang manusia menjadi sesuatu. Proses tersebut tidak berdiri sendiri dan berhubungan dengan banyak hal di luar diri, baik dari segi lingkungan, agama, situasi politik, kesenjangan ekonomi, pendidikan dan banyak hal lainnya berjalin saling silang dan membentuk benang rumit yang hampir mustahil kira uraikan. Begitu pula dengan proses panjang memilih suka-tidak suka pada sesuatu. Meski demikian, nampaknya hakim-sales-tuhan hari ini begitu malas untuk memahami realitas ”dapur” dan hanya peduli pada ”hidangan” yang sudah tersaji di meja makan. Kalau di Indonesia ada 250 juta jiwa penduduk, maka terdapat pula 250 juta dapur di sana. Masing-masing dapur tersebut berbeda antara satu dengan lainnya, baik dari peralatan yang dipakai, bahan memasak, resep, subjektivitas selera, dan rasa pirasa di sana. Karena sejatinya Allah itu maha tunggal, Ia akan menciptakan sesuatu yang juga tunggal, unik dan kompleks.
    Yang paling penting hari ini bukanlah mempermasalahkan hidangan atau outputnya, melainkan pada proses yang melatarbelakangi, sebelum menilai baik-buruk hidangan di meja makan. Sedangkan tiap detiknya manusia berubah, tak pernah sama. Software dalam diri manusia memperbarui diri dengan wawasan pengetahuan dan petunjuk dari-Nya. Sedangkan malaikat senantiasa merubah dan menjaga software-hardware manusia sampai manusia modyar. Lalu, kemanakah tudingan itu dialamatkan, sedangkan ”aku” yang sekarang bukanlah aku yang beberapa detik-menit-jam-hari-tahun kemudian. Dari rumitnya proses identifikasi ini pun begitu mustahil kita dekati. Begitu juga dengan banyaknya dapur yang akan ditilik untuk sekedar mengambil kesimpulan tentang sesuatu. Dimana dapur tersebut tak bisa sembrono untuk coba kita pahami dari lembaran-lembaran kuisioner dan teori sosial.
    Lho, tidak bisa seperti itu, bung. Anda harus tahu kalau budaya jahiliyah yang diminati penonton televisi itu diciptakan dan prosesnya terstruktur. Pasar itu kan diciptakan? Gimana sih ente ini?jarene wong-wong.
    Kalau pasar itu diciptakan, berarti anggapan bila dunia itu ”bergerak” itu benar adanya. Pemikiran berubah, selera berubah, ide berubah, begitu juga dengan hal lainnya. Pasar hanya akan condong pada segala sesuatu yang juga bergerak, dinamis dan mengikuti pola-pola tertentu dan inovasi-inovasi tertentu. Segala sesuatu yang dibiarkan begitu lama akan berkarat. Batu yang diam akan berlumut.
    Mari kita jujur: siapa sebenarnya yang tidak bergerak? Televisi, penonton, sales-sales yang gemar mengepalkan tangan kiri atau para demit hutan? Siapa sebenarnya sedang ditinggalkan karena mereka tak ubahnya hanya batu berlumut yang cepat merasa puas dengan kemenangan dan pencapaian-pencapaian sesaat? Bisakah para sales, tuhan baru, hakim moral itu datang menawarkan pembaruan ide-ide dengan substansi yang sama tapi dengan kemasan yang berbeda? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya bertanya: beranikah hakim-sales-tuhan mau mengakui bila televisi lebih rajin melongok ke dapur masyarakat ketimbang para aktivis yang sinis pada televisi? Beranikah mengakui kenyataan bila televisilah yang terbukti sedikit lebih mampu membaca keinginan-keinginan masyarakat yang sebenarnya sangat sederhana.
    Ternyata televisilah juaranya. Ketika muda-mudi ngidam motor-motor mewah, munculah sinetron anak jalanan. Masyarakat pengen makan sedikit lebih enak, nontonlah sinetron yang semua tokohnya kaya tanpa tahu kerja apa. Ketika masyarakat butuh hiburan yang berbau kompetisi, televisi menyajikan ndangdut akademi. Mas’e, mbak’e, masyarakat lo sudah jenuh dengan sinetron politik tukang mebel munggah bale, yang terbukti menyengsarakan masyarakat. Sampean kan belum ngerasain kenaikan harga-harga karena masih minta pak’e-buk’e. Kalau pun sampean tahu, tentu itu dari media juga dan itu berarti pengalaman sampean akan hidup tidak seotentik masyarakat yang sedang capek fisik dan hati. Masyarakat loh sudah capek kecewa, jantungen dengan kenyataan hidup. Bisakah anda memahami, sepulang jadi kuli, sehabis muda-mudi yang ndak sempet kuliah itu bekerja seharian, mereka butuh kotak kaca yang berisi impian-impian yang terlampau jauh untuk dicapai. Dan nongkronglah mereka di depan televisi sampai malam, lalu tidur, menjadi tua dan mati dengan beban sedikit agak berkurang. Mengapa sihanda (yang punya kesempatan menyelenggarakan hidup yang lebih rasional karena pendidikan anda) sombong dengan masyarakat kw 3? Mbak’e, mas’e, musuh terbesar dalam hidup itu bukan apa yang ada di depan mata, lho, tapi diri kita sendiri.
    Hobi jadi demit
    ”Masa muda, masa yang berapi-api,” kata mbah’e Partai Idaman itu benar adanya. Mungkin hakim-sales-tuhan kita ini masih remaja, sehingga apinya kerap kemana-mana; tidak kontrol dan menyengat siapa saja. Tapi ini juga bagian dari proses. Sebagai remaja memang harus sering ”berkelahi”. Dan saran saya, pilihlah pertarungan-pertarungan yang tidak terlalu besar dulu agar bisa menemukan langkah-langkah kongkret dalam pertarungan itu. Tidak perlu lah kiranya memilih skup yang terlampau besar, seperti generasi muda Indonesia. Itu terlalu luas. karena ada baiknya, jadi pemenang di kampung sendiri dulu baru menginvasi kampung lain.
    Dalam konteks ini, hakim-sales-tuhan yang umumnya mahasiswa mulai mencoba berjuang di lingkaran kelompoknya sendiri dulu, baru yang lain. Karena di tataran mahasiswa sendiri pun juga banyak yang jadi penggila boyband. Banyak pula yang suka nangis-nangis dengan lagu cinta menye-menye. Jutaan pula yang gembeng nangis di depan televisi menyaksikan tokoh idola di sinetron harus mati.
    Hakim-sales-tuhan yang merasa mendapat wahyu mahkuroromo dan merasa berhak menyampaikan kebenaran justru terkadang sangat tidak ramah dengan mahasiswa lain di kubangan lumpur sinetron dan lagu-lagu gembeng. Mereka yang merasa benar lantas mengangker-angkerkan diri kepada orang lain yang berkubang dosa. Apalagi keangkeran itu makin terasa mengerikan ketika belum juga lulus kuliah karena takut pada kenyataan. Jadi, bila mahasiswa pendosa itu ketakutan untuk datang mencari pencerahan, itu bukan salah mereka dong? Kalau mahasiswa pendosa ini lari ke pelukan FTV, boyband, menye-menye, hangat pelukan kekasih, mall, hedonisme, cinta tulus murni Pakde Dalbo, dll. Salah gue? Atau salah temen-temen gue?
    Bisakah pemonopoli kebenaran ini berhenti sejenak untuk minta dikeramatkan dan bersikap lebih bersahaja di hadapan para pendosa? Bisakah kita untuk berhenti merasa gemagah di depan dedek-dedek gemes unyu yang secara tidak sadar diancam badai industri hiburan? Bukankah selama ini pemonopoli kebenaran itu hanya berani ceramah berapi-api di lingkarannya saja tapi malas untuk ekspansi. Kalau mau ngajak orang ”sholat” itu seharusnya kepada orang yang tidak sholat. Lha kalau ngajak orang sholat ke orang yang jelas-jelas sudah sholat, ya, untuk apa?
    Ekslusifitasmu itu lho, su, sing njancuki. Nek dolanmu jek kalah adoh karo pitik, mbok ojo ngejak traveling. Kelonono ae pacarmu nang kamar. Iku luwih produktif ngasilno anak timbang cangkemmu ngafir-ngafirno (nang konteks liyane) wong. Nek raimu dikaploki wong-wong, jarene angker... akeh setane... kontrev... ndasmu’a?

    Mengapa toh kebenaran (yang menurut anda datang dari langit) harus ditawarkan dengan cara yang puritan? Kehabisan ide? Sini, ngopi di samping kakak. Nanti kakak ceritani rondo-rondo anyaran karo dudo tuek, warisane akeh, seng katene mati. 

    Roxy (tanggal tuwo) Februari 2016
    Dalbo

    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    Blogger news

    About

    Blogroll