Ketakutan hanya milik siapapun yang tak punya modal. Apalagi dengan hantu yang dulu mati-matian kita perjuangkan: demokrasi.
Tiba-tiba saya teringat dengan ketakutan kaum aristokrat konservatif yang khawatir pada demorasi; menjadi pintu masuk agar orang miskin dapat mengambil alih kekayaan orang-orang kaya sangat tidak beralasan. Karena korporasi bicara lebih jauh dalam sejarah petaka kaum miskin, terutama ketimpangan sosial.
Sejak dulu, modal adalah pintu masuk untuk menciptakan arus dan sistem lewat undang-undang. Menciptakan situasi sosial agar jaminan hak-hak dasar tak mampu melindungi minoritas yang tak punya modal dan status sosialnya rendah.
Sejak awal, demokrasi membawa harapan dan mimpi bagi kaum minoritas untuk mendapat jaminan kesetaraan. Pada mereka yang memiliki modal, demokrasi membawa mimpi-mimpi manis untuk dapat berserikat dan bersepakat untuk menjadi palu raksasa bagi para buruh dan tani. Dan bagi mereka yang berada di dalam pusaran birokrasi, dealundang-undang adalah semanis-manisnya korup. Maka tak heran, bila menjadi caleg adalah sebaik-baik cita-cita bagi generasi muda yang lahir di tahun keemasan demokrasi.
Hingga kini demokrasi membawa kita pada alam pseudo. Dan modal adalah alat untuk dapat meraih mimpi itu atau sebaliknya. Meskipun demokrasi membuka peluang untuk membuat seseorang banyak omong, tapi selamanya kita hanya bisa omong, tidak lebih.
Ketika situasi sosial memanas dan orang-orang kecil mulai tak tahan dengan rasa lapar, saat itu keberlangsungan demokrasi berada di kotak pinalti. Apakah ia akan habis berkeping-keping, atau sebaliknya kita cari kambing hitam agar merasa tenang karena konflik telah menemukan alibinya.
Saya ingat ketika ”kriminal” selalu menjadi satu-satunya dalih agar kita dapat tetap berada di zona nyaman demokrasi. Ketika ribuan orang mengamuk dan menjarah toko-toko dan merusak fasilitas umum, maka jalan buntu ketika hendak merunut akar masalah adalah istlah ”kriminal”. Artinya, ketika amuck jadi kesanggupan terakhir masyarakat berusaha keluar dari kebosanan kesulitan hidup dan kecemburuan kelas, kita cukup menyebut mereka sebagai kriminal. Masalah pun usai.
Banyak orang menentang demokrasi, tapi tak kunjung siap dengan alternatif lain selain demokrasi.
Zona nyaman demokrasi yang melenakan kaum intelektual dan pemikir-pemikir demokrasi juga mesti dipahami.Karena, sejarah mengajarkan bila sebuah negara yang siap meninggalkan demokrasi harus sudah siap secara mental dan materi untuk menghadapi embargo ekonomi, militer dan bahkan ancaman nuklir. Sebab, sejak awal, satu-satunya dalih invasi militer pada sebuah negara adalah tanam paksa demokrasi dalam kesadaran agar si penanam demokrasi dapat merampok lebih banyak.
Demokrasi hari ini sudah jadi pintu gerbang sebelum melakukan penguasaan sebuah negara. Demokrasi boleh jadi semacam patung kuda kayu raksasa berisi petaka pada kisah Troya dalam sejarah Yunani. Karena demokrasi terbukti menghancurkan sebuah negara dari dalam, sebelum akhirnya tak berdaya dan menyerahkan nasibnya pada modal multinasional untuk diperkosa lebih jauh.
Karena hari ini demokrasi masih dianggap sebagai kemegahan yang layak untuk jadi piala kebanggaan sebagaimana patung kuda kayu dalam kisah Troya. Padahal kemegahan demokrasi hanya ketika ia pertama kali dicetuskan. Dan selebihnya ketika diterapkan, demokrasi hanya alat bagi penguasa kapital dalam melakukan penghisapan. Tapi, ketika sejarah muram demokrasi telah banyak mencetak pengemis-pengemis dunia, penerapan demokrasi tak lebih hanya semacam ketakutan massal di negara berkembang. Selain itu, demokrasi adalah kata kunci untuk mendapat pengakuan dari dunia internasional, meski pada akhirnya pemerintahan di negara tersebut sama sekali tak berdaulat. Tapi, bagi masing-masing individu di pemerintahan tersebut bergelimang kemewahan.
Demokrasi adalah belenggu bagi para gelandangan intelektual yang mau membuka mata; sesuatu yang lebih mengerikan ketimbang penjara bawah tanah. Iblis paling jahat yang mengebiri keberanian-keberanian kita mengambil sikap untuk keluar dari zona nyaman. Meski sudah banyak berbagai tawaran di luar demokrasi, tapi toh kita tetap tak mau beranjak dan bangun dari mimpi buruk dengan dalih masih belum sembuh benar dari kedegilan rezim otoriter Orba.
Tapi, adilkah ketika trauma rezim jadi satu-satunya alasan untuk tak beranjak dari kebijaksanaan Barat dan ”moral kolektif” negara-negara berkembang?
Saya ingat, seorang kawan yang kurang sehat kejiwaannya, dengan diberkati mabuk, ia berkata padaku, ”Vitsin demokrasi membuat kita tiba-tiba bodoh. Takut pada rezim otoriter dan lupa bila rezim nondemokrasi dapat diubah menjadi rezim demokrasi. Bukankah demokrasi itu barbar sejak mula-mula. Seakan-akan mengatasnamakan rakyat, tapi menindas minoritas yang berbeda.” Dan memang demokrasi hanya membuka kemungkinan seseorang untung bicara. Kawan hanya dapat protes dan mempertanyakan lewat mabuk: apa jadinya bila dalam negara demokrasi, seluruh warganya menolak demokrasi? Apa negara tersebut masih demokrasi?
Sampang, 31 Maret 2014
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar