Hingga detik ini saya merasa perlu berterimakasih kepada para guru saya yang menyarankan saya—yang waktu itu masih gaya-gayaan kuliah—hanya membaca media semacam Kompas, Tempo, atau paling tidak, ya, Jawapos lah. Karena, konon informasi-informasi yang berkualitas dan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan itu datangnya dari sana.
Tapi, beribu maaf saya haturkan kepada beliau-beliau, para guru terhormat karena di Warkodataja (Warung Kopi Darurat Kota Jakarta), saya masih iseng-iseng buka-buka Pos Kota. Di sini jarang warung yang berlangganan Kompas atau Tempo. Dulu juga begitu, sewaktu masih di Jatim, di warkop sekitar Terminal Bungurasih, tangan saya juga ndak tahan lihat Memorandum nganggur.
Mohon ampun, guru! Kelalaian saya ini sudah kelewat batas. Betapa tidak, kalau sudah hanyut di dalam Pos Kota dan Memorandum, mata saya seperti lapar. Semua berita saya tandaskan. Mulai dari berita epok-epok, tipu-tipu, hiperbol, agak beneran dan yang beneran. Cerita mambu porno—pemanis dan pemikat a la koran becak’an—tak pernah terlewat sekalipun. Bahkan, ampuni saya, iklan-iklan wow macam: susuk Jeng Marni, obat kuat Mbah Kusumo, transfer ilmu pelet Gus a-b-c-d, sabuk kebal Eyang Marno, pijat-urut kejantanan Eyang Dalb*, dan konco-konconya, juga saya baca :'(
Entah demit macam apa yang merasuki hingga saya kalap dan abay dengan titah njenengan. Tapi, ndak tau kenapa, ada keasyikan tersendiri membaca koran-koran yang diharamkan para guru saya. Ketika membaca ”berita kematian”, jari saya tak berhenti menghitung berapa banyak berita pembunuhan yang ditayangkan dalam sehari. Anggaplah dalam sehari, ada 3-4 berita pembunuhan, lalu berapa banyak pembunuhan yang terjadi dalam satu tahun? Kalau Pos Kota dan Memorandum itu koran lokal, bagaimana dengan daerah-daerah lainnya? Berapa jumlah pastinya kalau pembunuhan di sekala nasional dicatat dengan baik?
Kalau benar pembunuhan adalah sesuatu yang sifatnya ”kacang goreng”, betapa mengerikan dan tak aman hidup di Indonesia!
Kadang saya merinding melihat berita-berita Memorandum dan Pos Kota, tapi di sisi lain, paranoia macam ini adalah kesalahan saya yang karena tidak nurut omongan guru. Coba saya istiqomah membaca Kompas, tentu pembunuhan-pembunuhan yang ”spele” itu tidak sampai menjadi paranoia di hidup saya. Tentu dengan membaca Kompas dan Tempo, peristiwa-peristiwa yang disajikan lebih berbobot. Kalau pun yang ditayangkan adalah berita pembunuhan, tentu secara kuantitas jumlah korban telah memenuhi prasyarat untuk jadi berita.
Seorang bijak pernah berkata, pembunuhan yang terjadi setiap hari adalah lingkaran siklus. Pembunuhan di masyarakat yang terekam di Pos Kota dan Memorandum adalah gejala; sipembunuh telah ”terbunuh” lebih dulu hingga pada akhirnya jalan buntu dan ketidakmungkinan hidup membuatnya membunuh orang lain. Si pembunuh melakukan perbuatannya karena dia hanya punya cara itu. Sekolah kehidupan mengajarinya bila satu-satunya jalan yang memungkinkan adalah untuk menghabisi nyawa seseorang. Mungkin karena si pembunuh tak sempat belajar cara membunuh tanpa harus ”membunuh”, seperti lazimnya kapitalisme. Bukankah kapitalisme adalah metode membunuh milik orang pintar dan pemodal?
Radhar Panca Dahana dalam buku ekonomi cukupberkata, ”seseorang yang memiliki uang 10 miliar lebih berpeluang memperoleh 10 miliar keuntungan, ketimbang pemilik uang 10 juta. Orang terakhir ini mungkin sulit bahkan tak mungkin memperoleh 10 juta tambahan, karena untuk mendapat keuntungan 10 miliar sang pemilik modal 10 miliar harus menghisap pula uang keuntungan bahkan modal dari pemilik 10 juta”. Tapi, saya rasa pemilik modal 10 miliar tak mungkin menemui jalan buntu hingga harus membunuh sebagaimana para drop out, lulusan SD, dan orang-orang yang ditepikan nasib lainnya, hingga dia ketiban sial diliput Pos Kota atau Memorandum.
Kompas dan Tempo adalah jalan panjang untuk mentabukan koran yang mengajarkan ”kiminalitas” tempe goreng. Media tersebut memberi arahan pada akademisi, pebisnis, tentang cara hidup modern yang mesti melakukan pembunuhan-pembunuhan cerdas. Jadi bagi akademisi, belajarlah yang rajin agar dapat menjadi si pemilik modal 10 miliar, bukan pemilik 10 juta.
Kalau kebetulan kebutuhan narsisme sebagai pribadi sedang menggelora untuk diliput koran, segeralah baca Kompas dan Tempo agar dapat menyelenggarakan pembunuhan cerdas, bukan ”pembunuhan tempe”.
Jangan jadi pelanggan Jeng Marni
Seseorang adalah apa yang ia baca. Kalau diteropong lebih jauh lagi, apa yang seseorang baca menentukan apa yang dia beli. Mungkin itulah sebabnya, Jeng Marni, Eyang Marno, dan Pakde Dalbo tak pernah pasang iklan di Kompas dan Tempo. Mereka memasang iklan di koran yang pembacanya memilki peluang menjadi pelanggan, ya, seperti Pos Kota dan Memorandum. Kalau Kompas dan Tempo iklan yang ditayangkan akan sesuai dengan isi kantong pembacanya.
Oleh karena itu, bagi dedek-dedek mahasiswa, membaca dua koran tersebut adalah pendaftaran ke langit atas cita-cita menjadi kaya. Amin. Sedangkan membaca Pos Kota dan Memorandum hanya mengantar anda menjadi pelanggan Jeng Marni.
Maka syukur Alhamdulillah saya masih sempat kuliah hingga lulus dan mengenal bacaan-bacaan dari media sejati. Kalau baca kitab suci, itu nanti lah, ya. Kitab suci bikin kita ndak enak makan, ndak enak membunuh, ndak enak mau polah-polah. Dan tentu saja sulit untuk membayangkan di dalam kitab suci memuat iklan mobil, perumahan mewah, apartemen, dan disko ndangdut.
Tulisan ini saya dedikasikan kepada guru-guru saya yang menyarankan saya membaca koran yang sejati. Meski saya masih sering membandel dengan iseng-iseng baca koran para, ah... remeh lah, ya... mmm...
Hidup Jeng Marni, eh, maksud saya, hidup kunci mobil, apartemen, paket wisata mewah dan rumah idaman. Yes.
Roxy, Januari 2016
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar