(Kisah Pertaubatan Mahasiswa Pertanian Barbar)
Seorang mahasiswa pertanian — yang juga adik saya — mengeluh soal kuliahnya. Dia mengaku sering bermasalah dengan dosen, kawan-kawan sekelas — yang tentu saja sangat pro dengan dosen — dan juga kurikulum pendidikan.
Sebelum cerita banyak hal, ijinkan saya bercerita tentang asal-usul adik saya ini. Agar, kalau anda menemukan adanya barbarisme pada adik saya, anda bisa memaklumi. |
![]() |
Tersangka |
Bisa dibilang adik saya yang satu ini kurang jelas asal-usulnya. Dia orang Jawa, tapi cukup lama tinggal di Sumatra. Dan yang membuat saya yakin ketidakjelasan identitasnya adalah: dia paham dengan banyak bahasa, berbelit-belit ketika ditanya soal identitas, dan terutama sikapnya yang selalu menentang dosen. Meski, alhamdulillah dia masih nurut dengan saya.
Hobi adek saya — yang agak sedikit playboy ini — adalah bermain game yang rata-rata berbau kekerasan. Selain itu, saya kerap menjumpainya ngamuk-ngamuk di telfon. Kalau sudah seperti itu, dia akan mengeluarkan kata-kata yang sudah saya hafal: ”Sini! Biar aku pecah kepala kau, bangsat!”
Melihat kelakuan adik saya, para pembaca yang budiman tentu bisa menebak seperti apa masa kecilnya. Saya bertani taruhan, masa kecilnya tidak se-unyu masa kecil saya: bermain tamiya, robot-robotan, kursus piano, kursus bahasa Perancis, bahasa Somalia, bahasa Mozambique, bahasa Jerman, main dokter-dokteran dengan mbak-mbak cantik, bermain bersama anak-anak kota, playstation, ah pokoknya sangat uye lah.
Berbeda dengan adik saya, yang sejak kecil pasti senang berkelahi, iseng melempar kaca tetangga, membakar pos kamling, mencabut bulu hidung hansip yang tidur, ngutil pisang goreng di pasar, menceburkan kucing ke sumur dengan tujuan melatih renang. Kalau pun ada diskusi dengan kawan sebayanya, pasti itu menyangkut seputar kayu apa yang keras dan efektif untuk membuat orang yang dipukul bisa langsung klenger, menyusun strategi menyerang anak desa tetangga, melepas batu akik dan menyisakan emban-nya yang bergerigi untuk tawuran, mengintip celana dalam dengan meletakkan kaca diantara tali sepatu, dan bermain perang-perangan di sawah. Ya, semuanya memang muram dan sedih.
Dia merasa apa yang diajarkan dosen dan dibahas dalam diskusi kelas sangat jauh berbeda dengan pengalaman empirisnya yang sejak kecil membantu ayahnya bekerja di perkebunan. Pada awalnya, dosen adik saya ini hanya menjadi penengah diskusi mahasiswa, tapi saat ingin memberi pencerahaan adik saya yang berdebat sengit dengan teman sekelasnya — bisa dipastikan dengan keyakinan yang hampir 1000% — penjelasan si dosen tidak jauh dari diktat-diktat yang disarikan di buku-buku pertanian ala universitas.
Tapi, apa boleh buat. Masa kecil adik saya ini sering terinspirasi oleh film-film layar tancap yang banyak mengandung unsur porno dan kekerasan. Sehingga, ketika diskusi, mungkin adik saya sudah berkali-kali merencanakan pembalasan dendam untuk mencegat dosen dan kawan-kawannya seusai kuliah. Begitu pula dengan si dosen, yang (mungkin) pantang membenarkan apa yang disampaikan adik saya, dimana tidak sesuai dengan teori di buku pertanian modern.
Sehingga, ketika diskusi buntu, terjadilah perang dingin antara adik saya dan dosennya.
----------
Saya membayangkan ada adegan ini di dalam perang dingin mereka.
Dosen: dasar kepala batu, kalau aku harus meng-iya-kan perkataan mahasiswa kampungan ini, buat apa aku sekolah tinggi-tinggi. Kalau dilihat dari kepala batunya, pasti dia anak PKI yang tak pernah dapat P4 di kecamatan.
Adik saya: bangsat! Kalau soal tanaman kebun, aku ini jagonya. Ini sudah jadi makanan sehari-hari di kampung. Masa saya harus mengalah dengan buku-buku yang tak jelas itu. Masa saya tidak boleh berpendapat. Masa pengalaman saya tidak sah sebagai rujukan karena tak sesuai dengan buku. Kalau saja bukan dosen, sudah kupecah kepalanya!
-----------
Saat sedang chat di facebook, saya redam amarahnya. Saya kawatir, ketika adik saya sedang telat sembahyang, dia dirasuki iblis dan kembali mengulang hobi masa kecilnya. Saya kawatir dia akan menyewa para drop out untuk menceburkan si dosen ke comberan. Karena, kalau sudah begitu, urusannya pasti panjang.
Sebelumnya, di suatu kesempatan yang baik, saat dia maba, saya pernah katakan padanya: Terkadang, ilmu-ilmu yang dipakai masyarakat, dalam segi, apapun selalu berorientasi pada sesuatu yang praktis, aplikatif, kongkrit dan untuk kemaslahatan bersama. Berbeda dengan ilmu di perkuliahan, yang masih subhat dan cenderung tidak aplikatif, bersifat pembodohan dan ’kembang kertas’.
Mungkin dia tidak ngeh saat mendengar penjelasan saya. Tapi, kali ini kata-kata saya hadir di depan hidungnya.
*
Adik saya yang baik, mungkin kamu sedang mengalami gegar budaya. Lokalitasmu terluka dengan penjelasan-penjelasan dunia pendidikan yang menurutmu irrasional dan tidak sesuai dengan ilmu dari pengalaman yang kau dapat turun-temurun dari ayahmu; dari alam. Tapi, kamu lupa satu hal. Kamu sedang menempuh pendidikan di universitas yang maha suci. Kamu pasti lupa peribahasa, dimana bumi dipijak, di situ langit di junjung.
Mungkin kau butuh piknik agar lebih rileks menghadapi kepongahan dunia akademik yang subhanallah sekali. Karena memang dunia akademik harus pongah. Kamu harus bersabar dan belajar menerima perbedaan nilai-nilai, pemikiran, ide, kesadaran, dan cara pandang. Kamu harus lebih arif dan sebisa mungkin menahan diri dari arogansi. Kamu juga harus ekstra sabar kalau pendapatmu tidak didengar lantaran tak sejalan dengan buku-buku dan wacana pertanian modern. Karena di mata pertanian modern, kamu adalah debu kotor yang bikin bersin. Kamu adalah kuda liar yang harus dijinakkan. Dimasukkan ke dalam kerangkeng kurikulum dan dipaksa memakai dasi agar nampak seperti manusia. Kamu harus diseragamkan demi nama baik almamater.
Saya menyarankanmu banyak-banyak bercermin. Melihat ke dalam. Mengkaji kembali lokalitasmu yang sudah kuno, tidak in, dan mengganggu stabilitas doktrin-doktrin universitas yang suci. Kamu juga perlu lebih sering mupus agar bisa berdamai dengan diri.
Karena “bertani” dalam perspektif dan kaca mata universitas yang suci, itu bukan bertani versi orang desa: memegang cangkul, mempelajari harmonisasi alam, sifat alam, dan menanam dengan kejernihan hati. Itu kuno, dik. Karena ada yang lebih penting dari itu semua, yakni belajar membeo pada buku-buku dan menghafal petuah-petuah dosen melebihi sabda nabi.
Percayalah, fakultasmu punya tugas mulia untuk membuat kamu jadi mandor-mandor yang hanya pandai menyuruh dan berwacana. Karena itulah yang modern. Untuk apa kuliah kalau tidak pintar menyalahkan sesuatu yang kuno dan memitoskan kearifan lokal menjadi sekedar dongeng pengantar tidur.
Apa kamu tidak berpikir betapa mulianya hati kampusmu yang setiap tahun selalu mengirim mahasiswa-mahasiswa cap kratingdeng dengan semangat membara menjalankan tugas suci KKN dan mengabdi pada masyarakat. Bukankah itu bentuk keluhuran budi, dik? Bagaimana tidak, kampus yang sangat luhur pola pikirnya melebihi nabi-nabi jaman batu masih mau merunduk dan datang ke desa-desa. Mahasiswa-mahasiswa yang sebelumnya hanya inferior seks mendadak jadi pahlawan yang dengan langkah tegap siap mengajari para petani desa cara menanam padi yang baik.
Itu tidak lain karena petani-petani kampung (yang bodoh itu) harus diajari teknik dasar memegang cangkul, sekali pun mahasiswa sendiri belum tentu tahan mencangkul ber jam-jam. Karena memang mahasiswa tidak dididik untuk itu. Mahasiswa adalah agent of change, social control, dan men of analysis. Meski mereka mahasiswa pertanian, haram hukumnya memegang cangkul. Haram hukumnya masuk dalam lumpur sawah. Pamali kalau mereka harus berlama-lama di desa mempelajari tanah pertanian. Dosa besar jika ada mahasiswa pertanian protes pada kebijakan pemerintah yang tidak pro petani.
Bukankah tujuan mahasiswa pertanian adalah mengangkat petani-petani kampus agar bebas dari mitos-mitos. Mengalengkan kearifan lokal dan belajar mendongak dengan angkuh. Dan yang paling penting adalah membebaskan petani kampung dari jahiliyah kolektif. Ya, petani kampung butuh bantuan mahasiswa untuk membuat pupuk alami, cara meningkatkan produktivitas pertanian dan sedikit-sedikit membimbing petani cara mengelola hidup yang lebih rasional.
Karena kehebatan ilmu pertanian warisan nusantara yang terkenal hingga ke Asia itu hanya mitos. Buktinya Belanda dan Portugis tak pernah menyebut-nyebut petanian kita. Buktinya buku-buku tak ada yang mengulas itu semua. Dan grand design penipuan sejarah pertanian selama 700 tahun itu hanya mitos dan isu dari sekelompok penganggur yang menderita paranoia laten. Iya kan?
Adik saya yang baik, sudahlah, kamu sekarang nurut saja untuk diseragamkan. Kalau bisa segera selesaikan kuliahmu agar kebentoanmu kecerdasanmu bisa setara dengan saya.
Makanya toh, tirulah Pakde Dalbomu ini yang sudah kekinian. Pakdemu ini jelek-jelek sudah lulus kuliah dan sudah tambah goblok pinter. Dan yang terpenting tetap gaya, gahol dan uye. Ini semua, syukur alhamdulillah berkat kuliah di kampusmu juga.
Sudahlah, akhiri kebrangasanmu dan rajin-rajinlah kuliah. Kamu harus menghafal betul apa kata dosenmu agar suatu saat bisa kamu tiru untuk mengkuliahi petani-petani desa saat KKN nanti. Dan percayalah, orang kampung itu rendah hati. Mereka akan senantiasa mendengarkan ceramahmu soal pertanian tanpa sedikit pun mendebatmu. Kan itu gaya beudz. Sukur-sukur kamu dijodohkan dengan anak desa yang gampang dikibulin. Sambil menyelam minum es susu.
Jangan sekali-kali lupakan tugasmu sebagai agent of change. Kamu harus membuat masyarakat desa mengerti dan semakin melongo melihat kota. Kamu harus buat anak-anak muda desa tidak terjerembab dan berkubang di lumpur sawah dan segera menapaki rumah suci universitas. Dan yang paling penting adalah pikirkan cara yang baik untuk membuat masyarakat desa melupakan kearifan lokal dan berkiblat pada dunia pertanian modern. Itu kan yang dipidatokan kakak-kakak BEM sewaktu awal-awal masuk kuliah. Masa ndak ingat?
Terus terang saya tidak mengerti apa isi kepalamu. Kamu ini kok berani-beraninya mendebat dosenmu yang maha benar? Kamu dikuliahkan ayahmu agar universitas membimbingmu. Mengubahmu yang awalnya hanya berandalan kampung menjadi bosnya para buruh tani. Tanpa dosenmu, siapa yang mampu mendididikmu menjadi staf menteri, begawan pertanian, yang senang membantu pemerintah untuk senantiasa memuluskan kebijakan impor beras. Hanya itu cara mencari untung menolong Indonesia dari ketidakmampuan petani-petaninya memenuhi pasokan beras nasional. Fakultasmu akan tulus ikhlas (dengan hati yang bersih suci tanpa noda) membimbingmu menjadi orang yang mampu melihat potensi impor pupuk apabila hasil pertanian sedang bagus.
Ingatlah, hanya kampus yang bisa mendidikmu untuk senantiasa mengambil untung apapun situasinya. Kalau petani sedang terpuruk, kamu bisa melihat peluang agar impor beras (yang lebih murah). Kalau hasil petani sedang melimpah, itu kesempatan untuk impor pupuk. Dan sekali-kali jadi penimbun pupuk untuk jadi spekulan kan tidak masalah.
Impor beras itu untungnya banyak bagi penyelenggara dan yang meloloskan kebijakan impor. Ingatlah, bagaimana pun caranya, kamu harus ada di dalam lingkaran pembuat kebijakan itu. Soal petani terus miskin dan tidak berdaulat di negerinya sendiri. Itu salah mereka; derita mereka. Suruh siapa jadi petani yang dekaden, anti modernisasi, dan tak mau mendengar apa kata universitas? Alhasil, jadilah mereka tetap berkubang pada lumpur dengan punggung menghitam dibakar matahari.
Adik saya yang baik, dengarkan nasihat kakakmu ini.
Ada tiga hal yang harus kamu ingat. Pertama, sebagai mahasiswa yang berbudi luhur serta beragama, jangan lupa berdoa. Kamu harus ingat ini: innama ammalu binniyah. Jadi, dalam konteks ini kamu harus menentukan segalanya di awal: seperti apa cita-citamu di dunia pertanian nanti? Sebesar apa kalibermu? Kamu bertani untuk siapa? Kamu ingin jadi petani yang seperti apa? Petani sukses atau petani yang punggungnya gosong? Tentukan dulu sebelum kamu melangkah.
Kamu harus senantiasa mengirim Al Fatihah untuk subjek utama di dunia pertanian. Dan ingatlah, subjek utama pertanian itu bukan petani, tapi pemerintah, akademisi, dosen, dan tengkulak. Dengan rajin mengirim doa untuk mereka — meski kamu bodoh dalam hal pertanian — kamu bisa senantiasa beruntung dan tetap kaya. Meski bodoh, kamu masih bisa jadi makelar. Karena, tidak ada ceritanya petani kaya? Makelar lah yang paling kaya. Tentu kamu tidak ingin punggungmu gosong dibakar matahari, bukan? Cukuplah ayahmu saja yang punggungnya gosong dan kamu jangan. Amit-amit dah.
Kedua, jangan pernah mendebat dosenmu tanpa ada tujuan yang jelas dan maksud cari muka ke cewek-cewek cantik di kelas agar dikira pintar; ke dosen agar dikira aktif sehingga dapat nilai. Tidak penting apa yang kamu tanyakan dan kamu perdebatkan itu bermanfaat untuk menambah pengetahuan atau tidak, yang penting gaya dan eksis dulu lah. Jangan vokal kalau itu tidak dicatat dalam penilaian diskusi.
Bijaklah sedikit dengan pendidikan modern kita. Jangan sok dan merasa paling mengerti soal menanam, meski kamu sudah makan asam garam di dunia perkebunan. Jadi, buktikan dulu mana yang lebih baik antara kearifan lokal dengan tahayul inovasi perkuliahan. Kalau produktivitas hasil pertanian lebih menguntungkan memakai ilmu kampus, segeralah sholat tobat dan minta ampun pada dosenmu. Kalau ternyata lebih bagus kearifan lokalmu, ya, tetaplah pakai yang dari universitas. Karena itu yang laku sekarang ini dan nanti.
Apa gunanya kamu kuliah kalau pada akhirnya mau mengakui kehebatan orang kampung? Itu kan dungu.
Kau juga harus memperhitungkan masa depanmu setelah MEA benar-benar direalisasikan. Kedepannya, semua hal harus distandarisasi, termasuk bidang pertanian. Sedangkan standarisasi pertanian melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) pastilah mengacu pada standar universitas, bukan petani kampung. Kelak, hanya pemilik sertivikatlah yang boleh menanam.
Tanpa lulus uji kompetensi, Badan Nasional Sertifikasi profesi (BNSP) tidak mau mengeluarkan sertifikat. Itu artinya kamu sudah tamat. Jadi penganggur.
Kelak sainganmu di dunia pertanian bukan hanya sesama lulusan pertanian. Pekerja asing juga akan memenuhi pos-pos di bidang pertanian lokal. Kalau kau tidak pintar-pintar sejak sekarang, kamu akan tersingkir bersama para petani kampung.
Suka atau tidak kamu harus menerima keadaan ini. Karena saat itu, baik di pasar domestik dan internasional, hanya menerima produk-produk yang dikelola oleh SDM yang bersertifikat.
Ketiga, ingatlah kamu ini sedang dikuliyahkan di universitas. Tempat ini sucinya melebihi mesjid. Gagahnya melebihi para nabi. Namanya saja universitas, tentu saja di sana ada kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan merumuskan gagasan yang sejalan dengan buku. Kurang apa lagi coba? Di tempat ini, kamu bisa menyusun skripsi, tesis, desertasi yang sejalan dengan visi-misi kampus. Jadi tidak ada ceritanya kamu menyusun skripsi, tesis, desertasi yang aneh-aneh di luar materi yang biasa dipakai dan yang dikuasai dosen. Kan itu tidak etis. Pembangkang. Memangnya bapakmu yang menentukan lanjut-tidaknya sebuah penelitian? Makanya, kamu harus nurut.
Kalau tidak dibuat seperti itu, dunia pendidikan tidak laku. Karena tanpa ekslusifitas, tukang becak pun berhak mengemukakan sesuatu dan diakui dan tidak perlu mahal-mahal S1, S2 dan S3. Jangan! Itu jangan sampai terjadi. Kalau itu terjadi, apa bedanya kamu dengan orang yang tidak kuliah. Masyarakat harus dibuat tergetar dengan produk-produk universitas.
Adik yang bijaksana, mengertilah! Tidak ada gunanya kalau kuliah pertanianmu harus membuat kamu kembali ke lumpur sawah. Apa kata dunia?
Ingatlah, terkadang besarnya cinta kasih orang tua tidak akan sampai hati melihat kamu berkubang di lumpur sawah. Kasih sayang orang tua kita memang kerap berlebihan dan menjerumuskan mengantar pada lubang hitam korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak penting kamu bisa menempuh ”jalan lurus” atau tidak, asal kau bergelimang harta, mereka senang.
Adik saya yang agak mbalelo. Tujuan universitas adalah jangan sampai setelah lulus kamu bisa sembrono cangkruk dan main gaple dengan petani-petani di warung kopi. Karena kalau begitu apa bedanya kamu dengan mereka? Kelasmu itu suci, luhur dan terhormat. Memang sih kesannya kamu tercerabut dari akar kebudayaanmu, tapi ini semua demi masa depan yang gilang gemilang.
Lagipula, bergaul dengan petani kampung itu tidak menguntungkan. Percayalah, dekadensi masyarakat itu menular. Jadi sering-seringlah dekat-dekat dengan dosen. Seringlah bawa kue ke rumahnya. Jangan terlalu kaku agar kamu tidak rugi di hari depan.
Oya, ada satu lagi, jauhi dosen-dosen yang kuno. Dosen yang menyuruhmu mendekat ke masyarakat dan menyuruhmu belajar pada mereka. Karena tidak semua dosen itu baik. Di universitas ada juga dosen macam itu. Jadi hati-hati.
*
Singkat cerita, adik saya ini mau mengerti dan berjanji akan memperbaiki sikap. Sebentar lagi, dia akan siap menyongsong matahari baru dengan sikap oportunisme optimisme yang membara. Bapak-ibu dosen yang bisa membuktikan: sekarang adik saya sudah siap dijewer kupingnya, siap disuruh telanjang dengan menari cha-cha demi menyenangkan anda. Adik saya juga akan siap menghafalkan kata-kata anda dan kata buku. Karena semua demi keuntungan kebaikan di masa depan.
Senang rasanya, punya adik-adik manis macam ini.
Citra D. Vresti Trisna
Jakarta, 4 Juni 2015
0 komentar:
Posting Komentar