• Bokep Maniak

    pop cash

    Mari Nonton Film Senyap Biar Dikira Aktivis




    (Catatan Pemuda Tanah 4l4y)

    Saya benar-benar sadar bila menonton film senyap itu berbeda dengan menonton film porno 3gp di ponsel yang jumlahnya bisa ribuan. Meski sama-sama sembunyi saat menonton, namun efek yang didapatkan jelas berbeda. Kepergok menonton bokep hanya mengantar anda pada label cabul. Tapi, akan lain ceritanya saat anda kepergok FPI menonton film senyap dan dibubarkan.
    Ternyata menonton film Senyap itu bukan hanya sekedar ”menonton”. Ada yang lebih keramat dari sekedar menonton. Kalau saya pribadi—harap dicatat bila ini saya pribadi, bukan anda—saat menonton senyap, diam-diam dikedalaman saya muncul ”pamrih dan harapan”. Entah itu semacam keinginan untuk dianggap sesuatu, dipikir begini, begitu pokoknya eksis dan keliatan seperti aktivis yang gimana gitu loh. Atau mungkin sebuah harapan untuk mendapat dalih perjuangan hingga bisa lantang ”berkata tidak” pada pemerintah yang represif dan kontrev.

    Menurut saya, menonton film senyap itu kurang greget tanpa dibubarkan paksa oleh massa FPI yang marah. Jadi, jangan sebut anda merasa dibungkam dan ditekan pemerintah bila belum dibubarkan FPI atau pihak kepolisian saat menonton film senyap. Dan ini merupakan pengalaman pribadi saya ketika diam-diam menyaksikan film Senyap. Dan mohon jangan marah, karena apa yang saya tuliskan ini merupakan penilaian yang subjektif, kuno, dekaden dan oportunistik. Beda dengan penonton lain, yang sudah pasti menonton film senyap untuk menambah semangat juang melawan kedunguan pemerintah.
    Sebenarnya saya kurang paham dengan jalan cerita film senyap. Karena selama menonton, saya selalu tengak-tengok kiri-kanan menunggu barangkali ada FPI yang datang. Di sebalik hati saya—meski takut setengah mati dengan pentungan FPI—ada sebongkah harapan agar di tengah menonton film, FPI datang membubarkan.
    Sejak awal menonton, saya sudah melakukan banyak persiapan. Jadi kalau ada FPI marah-marah saya akan berekting dan berada di barisan paling depan untuk memarahi balik mas-mas FPI. Sehingga orang-orang di sekitar saya berpikir bila yang kadar aktivisnya paling tinggi adalah saya. Sehingga untuk tujuan itu, beberapa waktu sebelum nonton saya sudah latihan fisik dan download tutorial ilmu kebal di internetmelatih ilmu kebal di Banten.
    Tapi memang kepengecutan saya ini sudah luar biasa besar. Jadi ketika film dibubarkan, saya lari duluan merasa ada pergolakan besar di hati saya. Semacam ya-tidak-ya-tidak untuk maju dan melawan FPI. Yang perlu saudara catat pasca FPI datang membubarkan adalah: saya merasa telah sepadan dengan Che Guevara, lebih revolusioner ketimbang aktivis buruh paling garang. Tak lupa, sebagai seorang alay yang menggunakan media sosial sebagai sarana perjuangan, saya langsung update status di facebook, twitter, instagram dll.
    *
    Diantara dingin malam saya menyesal. Tiba-tiba saya ingat hangatnya suasana di rumah. Ada papa, mama, ada adek. Kalau aku di rumah, aku pasti lagi ngobrol ama mereka. Nonton film yang unyu, kartun, dan Spongebob sambil minum susu hangat. Tapi, ini salah aku juga, sih, waktu berangkat nonton film Senyap, aku ijinnya ke mall. Duh, aku jadi nyesel. Hiks..
    Apa jadinya kalau aku bilang nonton film yang ada cerita soal PKI-nya. Mampus dah aku. Dulu, kakekku seorang yang sangat taat memberikan pendidikan P4 bagi warga. Jadi, kalau ada sesuatu yang bau komunis sudah pasti dibabat lah. Hmmm, hebat, kan, kakekku? 
    Kakek adalah seorang yang sangat paham dengan istilah “bahaya laten komunis”. Karena kabarnya, sih, kakekku adalah Pemuda Pancasila yang ikut nyikat PKI sampai titik darah penghabisan. Tapi, bodo amat ah. Makanya kalau pengen hidup aman-aman aja, ya, jangan ikut komunis. Hmmm ideologi apaan tuh? Coba deh kita pikir lagi ya... Kita ini kan di Indonesia: negara yang bertuhan. Lha gimana coba, masa kita mau kasih tempat ke orang-orang yang gak beragama? Najis amat cobak, dih...
    Jadi, sampai sekarang, kalau ada orang tanya sama aku tentang siapa presiden idolaku, maka aku akan teriak keras binggow: ”Aiiiiiiilooooppeeeeyuuuuuuu Pak Hartooooooooo.”
    Hmmm, aku mah dukung banget ama kebijakan-kebijakan dia yang merepresi banyak orang yang kebanyakan omong. Bukannya negara ini butuh pembangunan? Kalau banyak orang ngomong, kapan kelarnya cobak? Mau kayagini salah, kaya gitu salah... Aaaaaaa pucing pala pinces...
    Pasti para aktipis itu nilai Bahasa Indonesianya jelek banget. Dia pasti gak pernah tau salahsatu baris Gurindam Dua Belas punya Sultan Takdir Alisahbana: apabila banyak berkata-kata, di situ jalan masuk dusta. Nah lo... mampus kagak. Mereka pasti kagak paham bila apa yang disampaikan Sultan Takdir Alisyahbana punya makna tersirat.
    Coba kita analisis, ye... “apabila banyak berkata-kata, di situ jalan masuk dusta.” Nah kita garis bawahi kata “berkata-kata”. Maksud dari kalimat ini tentulah sebuah kompleksitas; jaman; situasi sosial yang memungkinkan orang berkata-kata. Nah, apalagi coba kalo bukan de-mo-kra-si. Please dehh.. HuftLalu, yang harus digaris bawahi selanjutnya adalah “dusta”. Ya, dusta di sini harus kita artikan sebagai sesuatu yang negatif; bersifat merusak; jahanam; virus; dajal. Iiiiiihhhhh sereeeeem binggow coba. Jadi, sudah barang tentulah, kalau demokrasi merupakan jalan masuk bagi dajal.
    Dan please, dajal di sini jangan diartikan dengan bodoh sebagai mahluk yang guedee bangett..Trus dia jalan ke kamu dengan mata satu segede piring tepat di kepala. Huft. Kalian, aktivis pagebluk pada tau kagak sih ama yang namanya dajjal itu. Da-jal itu sebuah entitas dari sikap dan pola hidup. Dajal adalah manifestasi dari sistem dan iklim yang menciptakan kehancuran yang bukan hanya di sekala kecamatan, tapi dunia. Dajal itu mengikat seseorang dengan segala yang nampaknya menyenangkan tapi melenakan.
    Contohnya, ya, seperti mitos kebebasan dalam demokrasi itu. Absurditas konsepsi HAM dan segala penghancuran kebijaksanaan-kebijaksanaan lama demi kebijaksanaan baru yang kompromistis.
    Lalu bagaimana dengan PKI?
    Duuuuuu, apaan sih itu? Huftt. PKI itu ideologi kurang kerjaan. Para pembawa ideologinya aja yang geblek. Masa bawa komunis ke negara yang sudah dalam kandungan punya religiusitas dan pola kebudayaan yang sedemikian tinggi hingga sebanding dengan agama. Jadi, kalau mau mendewakan kata-kata si Marx-brewok-dekil-miskin-najis “agama adalah madat bagi masyarakat” itu salah tempat kelees.  Di tempat ini, penghisapan mendapat tempat seolah-olah bagian dari rutinitas. Dan tak ada yang sedemikian khusuk disiksa dan dihisap oleh mahluk yang bernapa kapitalisme, kecuali rakyat Indonesia.
    Penghisapan demi penghisapan datang dan diterima masyarakat sebagai bagian yang meninggikan derajat kemanusiaan. Jadi, wajar kalo di jaman modern ini banyak kaum kapitalis kian lahap memangsa rakyat. Tapi, harus diakui bila ketahanan masyarakat itu demikian tinggi. Masa udah dihisap berabad-abad lamanya masih saja stay cool. Ya, revolusi sosial tidak mendapat tempat di sini karena rakyat tak mendukung penuh. Jadi, aktivis geblek, selamat bertepuk sebelah tangan yaaaaaaa :p
    Makanya dong, kalo mau berjuang, kita harus tau siapa yang kita perjuangkan. Mengamati mereka bukan sebagai angka-angka mati. Kalau suatu saat menjumpai rakyat kita meronta-ronta menangis diusir dan digusur, jangan pikir mereka benar-benar menangis. Kalian bisa jadi kena tipu. Kalian boleh meluhurkan perjuangan, tapi, kalian juga mesti tau sedang menginjak bumi yang mana. Pelajari filsafat dan keyakinannya baru melakukan sesuatu. Sebaiknya kalian tau apa yang kalian lakukan.
    Trus doktrin bahaya laten?
    Huft... kenapa banyak orang ngurusin soal ini sih?
    Jadi gini ya. Bicara soal doktrin, kita harus menilik kembali wacana Foucault soal relasi kekuasaan dan pengetahuan. Jadi Foucoult menjelaskan bagaimana sebuah pengetahuan diperoleh manusia. Dia menganggap pengetahuan itu tidak serta merta turun dari langit. Pengetahuan; wawasan; keyakinan; kebenaran tidak diperoleh dengan gratis, melainkan diproduksi oleh kekuasaan (saya tambahi: yang jantan, punya kelamin dan cinta negaranya). Selain Tuhan, hanya kekuasaan yang sanggup memproduksi kebenaran. Begitu juga dengan jutaan orang indonesia meyakini komunis adalah bahaya laten.
    Aku tau sih, doktrin itu diproduksi dan ditransformasi dengan taat oleh Orba kepada masyarakat. Tapi, coba deh kita pikir lagi. Apa dalam pemerintahan sebuah doktrin tak boleh dibuat? Apa hanya gerakan bawah tanah saja yang boleh memproduksi kebenaran; doktrin kepada kadernya? Lalu bagaimana dengan pemerintah?
    Coba jawab pertanyaanku: salahkah sebuah pemerintah menghasilkan counter issu ketika negara sedang dalam kondisi darurat?
    Bukannya dalam praktik berkehidupan antar negara di dunia ini tak lebih dari perang doktrin dan ukuran. Barang siapa yang doktrin, ideologi dan  ukuran yang dipakai di berbagai negara adalah sang pemenang. Coba deh, sekarang aku tanya: komunis itu produk siapa? Apa paham komunis itu asli buah pikiran orang Magetan? Atau akal-akalannya orang Madiun? Pikir lagi deh...
    Jadi wajar dong, kalau komunisme dianggap mengganggu stabilitas dan merusak tatanan yang sudah ada, maka Papa Soeharto Aelopyu bikin counter issu agar stabilitas di negaranya tidak goyah. Sebagaimana Saddam dan Ahmadinejad dan beberapa suku di Somalia yang menolak demokrasi. Mereka menolak tunduk dan memilih berdaulat dengan caranya sendiri. Sebagaimana Soeharto yang membuat doktrin “bahaya laten komunis”. Apa dalam hal ini Soeharto salah?
    Tapi, bagaimanapun juga Soeharto telah membantai orang-orang tak bersalah yang dituduh komunis!!
    Uuuuuuuhhhh... Kenapa cih kalian kok dongok gitu?
    Emangnya jadi presiden itu mudah, hah? Emangnya melindungi sebuah negara dari virus ideologi adalah hal yang mudah? Coba kita pikir? Saat sebelum pembantaian orang yang dituduh PKI tersebut, sempatkah kita memilah dan memilih orang yang benar-benar PKI, orang-orang yang hanya ikut ngantri nerima sembako, orang-orang yang asal kena sebut tetangganya? Sedangkan waktu itu, Indonesia harus dibersihkan dari virus merah sebelum mengundang pihak luar dan mengundang serigala lain untuk ikut campur.
    Waktu itu Amerika bertepuktangan dengan kebijakan Soeharto. Tapi, sewaktu Soeharto menolak tunduk, dibongkarlah segala aib soal pembantaian hingga membuat merah kuping para mahasiswa labil. Meradanglah para mahasiswa cupu yang berpuluh-puluh tahun mendadak goblok, mau dipimpin  Soeharto, tak punya nyali.
    Mengapa waktu itu Soeharto lebih memilih memberangus tanpa ampun mereka yang dicap komunis? Hampir semua pemimpin dunia paham: lebih mudah menghabisi nyawa jutaan penduduk ketimbang menyadarkan satu-per-satu orang. Waktu itu siapa yang tak silau dengan PKI? Bisakah orang-orang itu langsung mengerti dengan sekedar omongan dari mimbar istana negara? Apakah ada jaminan dikoarkannya propaganda yang berulang-ulang tentang bahaya komunis bisa membuat orang jadi langsung sadar?
    Ada hal-hal yang tak mampu dijamah Foucoult dari sekedar kekuasaan dan pengetahuan: politik. Ya, politik adalah sesuatu yang bergulir dengan sangat cepat. Dan untuk membuat orang mengerti dalam waktu singkat, butuh dari sekedar propaganda biasa. Butuh lebih dari kekuasaan yang mustahil dimiliki manusia—mungkin dari demit hutan, kolor ijo, genderuwo, setan alas atau ilmu klenik dari negeri antah brantah—untuk dapat membuat orang berbelok dalam waktu yang relatif singkat.
    Politik taik kucing. Kenapa selalu politik yang jadi soal dan rakyat yang jadi korban?
    Dulu, waktu aku masih unyu, seorang tua yang pernah aku temui di KFC warung, pernah berkata: ”Kamu lihat itu orang-orang yang bergerombol dan mengaku-ngaku membela rakyat adalah orang-orang yang takut menghadapi kenyataan; tak siap hidup bernegara.”
    Tapi, benar juga sih kalau menurutku. Sejak dulu yang jadi pertanyaan dan tuntutan klasik adalah: mengapa rakyat yang selalu jadi korban? Jawabnya singkat, menurutku: karena rakyat menghendaki diri berada dalam satu negara dan diikat oleh sistem. Ya, kalau selama ini kita selalu protes, semua itu hanya bentuk ketidaksiapan seseorang hidup bernegara. Karena negara punya konsekwensi dan hukum-hukum (lemah) yang dibuat untuk kepentingan   pemilik modal. Tapi, ketika ditanya apa mereka yang selalu memberotak itu mau masuk ke dalam sistem? Ayo? Ada yang ingin taruhan jari dengan saya? Akan hanyut atau tidak?
    Kalau saya sih siap-siap aja gak usah ada negara. Ndak apa-apa gak ada negara. Dulu-dulu juga begitu kan? Tapi, bukannya mereka juga yang tetap ngotot tetap ada negara? Kalau ada yang sok memisahkan diri dari Indonesia, ya, ndak apa-apa. Hanya saja kalau berhasil, sejarah pasti berulang. Hahahaha.
    Maka seperti ini jadinya. Satu sisi kita menolak untuk membubarkan negara, tapi di sisi lain kita ingin terus berjuang. Dan jadilah kita semua menikmati diri berada di kulit luar: pengen nonton film, berharap digrebek, menikmati menjadi pseudo represi, menikmati sembunyi-sembuyi, tapi tak punya nyali menghantam balik FPI. Bukannya kalian sama-sama memperjuangkan apa yang kalian yakini? Hahahahahaha.....

    Citra D. Vresti Trisna

    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    Blogger news

    About

    Blogroll