- Catatan kecil untuk adek Saumi
Boleh jadi menggagas negara teokrasi itu berlebihan. Namun, bukan berarti demokrasi adalah sebaik-baik jalan agar tidak ada suara yang dibungkam.
Sistem adalah sistem --- sesuatu yang kerap disalahpahami dan terus saja kita temukan borok di tubuhnya --- sebagaimana manusia yang tak pernah sampai pada kesempurnaan. Dan untuk orang yang memperjuangkan teokrasi dengan mencela demokrasi mungkin sedang kalap dan melupakan: sepeninggal Muhammad tak ada lagi pusat nurani.
Mungkin pejuang-pejuang teokrasi, dalam keputusasaannya, hanya menemukan penerapan syariat Islam adalah satu-satunya cara agar dunia, atau setidaknya Indonesia, kembali ”lurus”. Tapi, pertanyaan tentang apa, siapa, bagaimana definisi lurus itu, kita tak kunjung dapat menjelaskan, kecuali jawaban-jawaban klise yang fanatis.
Namun, kalau bagi mereka yang percaya satu-satunya penyelenggara kebebasan bicara adalah demokrasi, kurasa juga tak kalah berlebihan. Di Athena, kota yang pernah menempatkan demokrasi sebagai nilai luhur pernah menghukum Sokrates dengan minum racun pada tahun 407 SM karena dianggap merusak kepercayaan para pemuda pada dewa. Bukankah lenyapnya Socrates juga berarti lenyapnya pertanyaan-pertanyaan filsafati dan kebebasan bicara? Bukankah demokrasi juga tak memberikan tempat bagi kebebasan bicara?
Dalih penanaman demokrasi dan tuduhan senjata pemusnah masal juga pernah memporak-porandakan Irak dan membunuh banyak warga sipil hanya untuk melibas Rezim Saddam. Bukankah sejak dulu agama dan kepercayaan bukan sesuatu yang penting di negara demokrasi. Jangankan dewa-dewa, sekelompok orang penyembah penis pun akan mendapat tempat di negara demokrasi.
Tak ada sistem yang mampu lepas dari barbar. Karena setiap daya upaya menjalankan keyakinan ideologi selalu subjektif di mata orang lain: bisa baik, bisa buruk. Bahkan Muhammad pun, yang dianggap pusat nurani, tidak lepas dari tuduhan dan cacimaki.
Sejak dulu kita tak pernah bisa mulus berada di sebuah sistem, karena ada selalu ada sistem tandingan yang juga diyakini kebenarannya. Tapi, yang kongkrit untuk hari ini adalah tidak menutup mata pada gejala-gejala. Pada apa yang terjadi di dalam, di lingkungan, di negara kita dan di dunia. Dan yang terpenting, batin kita selalu saja menghitung untung rugi sejarah dan realitas: seberapa baik dan seberapa buruk teokrasi atau demokrasi.
Selain itu, yang paling perih adalah ketika nurani dalam menjalankan dan meyakini sistem yang jadi ideologi selalu bertentangan dengan logika-logika ekonomi dan keuntungan dari spekulasi pribadi serta golongan. Ya, logika sekaligus tuhan baru yang jadi keniscayaan. Sehingga tak peduli berapa banyak nyawa yang mati karena perang, tapi berapa untung yang didapat dari perdagangan senjata dan spekulasi untung yang didapat pasca perang.
Sejarah yang tak mapan
Proses transformasi nilai sebelum demokrasi dan teokrasi jadi keniscayaan tidak bisa lepas dari sejarah. Seorang mantan pejuang kebebasan berpendapat di sebuah rezim militeris akan sangat berapi-api berpidato ketika ada yang berani menentang demokrasi. Seakan-akan ia merasa jadi orang yang paling tersakiti ketika kebebasan berpendapat dipasung.
Tapi mungkin sejak saat itu si pelaku sejarah ini jadi bodoh. Ia lupa bila ada sekelompok orang di tempat lain yang keluarganya diberondong senapan mesin oleh negara demokrasi hanya karena meyakini Islam dan tak ikut demokrasi. Bahkan melupakan penganut demokrasi juga pernah berdosa pada pembantaian dengan kedok yang tersamarkan. Maka, tidak heran bila dendam sejarah akibat kematian keluarga menjadi tanah subur bagi keyakinan syariat Islam.
Tapi, hari ini siapa yang sanggup memaklumi relativitas sejarah? Siapa yang mampu memahami bila sejarah yang jadi rujukan boleh jadi hanya kesalahan sudut pandang? Bukankah di sebuah negara yang terlanjur bertikai karena prinsip, masyarakatnya tak lebih dari sekumpulan orang buta dengan parang di tangan. Menebas ke segala arah tanpa peduli siapa yang bakal jadi korban.
Generasi mengambang
Sama halnya dengan generasi muda yang tak sempat bersitegang pasca 1998. Generasi yang pernah diistilahkan sebagai ”generasi mengambang” yang bingung memilih puting sejarah tempat mereka memupuk keyakinan.
Generasi-generasi yang gelagapan dan resah karena tak menciptakan pijakan kaki. Sehingga sebagai bentuk eksistensi, mereka memilih salah satu pijakan sejarah untuk jadi centeng dalam absurditas organisasi yang menjadi wadah ideologi.
Maka tak heran bila di taman kanak-kanak perkuliahan seruan jihad untuk tegaknya negara Islam terdengar nyaring. Tak heran pula di pabrik pencerabut kearifan lokal, demokrasi diagung-agungkan; kontainer-kontainer yang memuat kebijaksanaan Eropa diimpor besar-besaran.
Ya, generasi pasca dagelan 98 adalah generasi katak dalam tempurung yang miskin. Mereka tak memiliki apa-apa kecuali fobia akut pada sesuatu yang tak jelas bentuknya. Dari fobia demi fobia itulah generasi muda hidup: makan, minum, belajar, berak, bernapas dan bercinta dalam fobia.
Generasi muda dengan paranoia laten tak mungkin bisa diselamatkan tanpa kehadiran pahlawan. Meski tak harus sekaliber Muhammad untuk jadi pusat nurani. Untuk memberi arah dan menjadi pahlawan. Meski saya agak pakewuh untuk mengakui bila saya percaya akan datang pahlawan, figure yang jadi penyelamat generasi mengambang. Tapi, yang jelas saya amat meyakini hal itu.
Dan untuk sementara, sembari menghabiskan waktu sambil menunggu juru selamat itu datang, saya pikir tidak ada salahnya adek-adek mahasiswa mencari mereka di gedung bioskop dan membayangkan Spiderman atau tokoh Tonto, sosok Indian dalam film The Lone Ranger sebagai presiden Indonesia.
Cdv_t
Yakobus, 31 Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar