• Bokep Maniak

    pop cash

    Remaja dan ”Ketololan” Datang ke TPS


    Namanya juga anak muda. Tidak memilih, karena kesadaran dan apatisme adalah sesuatu yang lumrah. Sesuatu yang (mungkin) dianggap evoria; sebuah sikap tegas untuk menolak sesuatu yang klise. Saya senang dengan sikap mereka. Paling tidak, remaja hari ini sudah punya sikap. Tapi, kalau sikap itu kebablasan: memaki orang yang masih mau datang ke TPS untuk nyoblos. Tunggu dulu.
    Tidak memilih adalah sebuah pilihan. Tapi, ketika memilih, ia punya andil dalam menentukan sesuatu yang bakal terjadi 5 tahun mendatang. Entah itu pemerkosaan struktural, atau apapun namanya, yang jelas saya akui rakyat Indonesia itu tangguh. Berduyun-duyun datang ke TPS untuk sesuatu yang mungkin bukan dari rasionalitas dan sebentuk sikap. Apapun motifnya, mungkin ada kerabatnya yang kebetulan maju untuk nyaleg. Mungkin karena takut dengan Pak RT yang sudah menyarankan untuk nyoblos si anu, si ini, si itu. Atau karena dapat ancaman karena KTP-nya terlanjur dikirim. Atau karena rasa pakewuh karena sudah diberi uang, mie instan, piring, kompor, strika dan stiker.  
    Semua yang diberikan caleg adalah pemberian yang tidak sepadan dengan pemerkosaan yang didapat lima tahun mendatang. Tapi, masyarakat tetap mencoblos. Memilih untuk terus berharap pada sesuatu yang tak masuk akal. Ya, sebentuk keberanian sikap untuk memutuskan percaya. Meski saya tidak menafikkan ada orang-orang yang nakal memanfaatkan serangan fajar untuk memperoleh banyak keuntungan. Tapi, apa itu sebanding?
    Memilih adalah persoalan satu-dua menit. Tapi, bukankah di hadapan Tuhan pilihan-pilihan yang diambil adalah pertanggungjawaban kelak. Belum lagi dengan pertanggungjawaban di dunia yang akan dirasakan lima tahun. Keberanian macam apa yang mengilhami rakyat kita? Ketangguhan dari kesatria macam apa yang menginspirasi mereka untuk rela dihukum dunia-akhirat hanya karena persoalan satu-dua menit? Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memilih?
    Terus terang saya masih berbaik sangka kepada mereka yang tidak memilih. Saya pikir, mereka yang tidak memilih itu bukan karena ”ketakutan” dan kepengecutan untuk berani melihat kenyataan. Mereka, remaja-remaja yang sehat pola pikirnya tentu berangkat dari pilihan rasional. Ada hal-hal yang membuat mereka memutuskan untuk tidak memilih. Ada hal yang lebih urgen untuk diperjuangankan ketimbang menentukan nasib bangsa, yang toh begini-begini saja. Mungkin kesadaran dan analisa mereka terlampau mendalam hingga tak ingin jadi bodoh seperti rakyat Indonesia lain yang berduyun-duyun ke TPS: memilih, melipat kertas suara dan memasukkan ke kotak duka.
    Mungkin mereka yang memutuskan untuk tidak memilih, enggan untuk menyenangkan aparatur negara, lembaga-lembaga agama yang frustasi karena angka golput kian tinggi dari tahun ke tahun. Bahkan, ketakutan pada tingginya angka golput diperjuangkan sedemikian rupa hingga perlu ada relawan demokrasi. Sosialisasi untuk tidak golput disuarakan ke seantero negeri agar masyarakat masih percaya pada DPR yang absurd. Percaya pada presiden yang selalu saja memble dalam memperjuangkan nasib rakyat.
    Salah satu indikator kemajuan negara adalah ketika ada sinergitas dan rasa percaya masyarakat pada pemimpinnya.
    Tapi, tunggu dulu. Itu hanya jargon yang ada dalam dongeng pengantar tidur negara demokrasi. Semua itu tak perlu benar-benar dipikirkan remaja intelek. Memang negara ini biar bangkrut dan hancur bersama dagelan demokrasi. Biar sekalian porak-poranda kenyamanan wakil-wakil rakyat yang tidak tau diri itu. Bukankah mereka sedang cemas cita-cita kenyamanannya lima tahun mendatang akan remuk ketika tidak ada yang berangkat ke TPS.
    Ketakutan negara cukuplah diredam masyarakat kelas bawah yang tidak sanggup mengelola hidupnya dengan rasional. Biar saja yang berangkat ke TPS adalah janda-janda melarat yang untuk hidup besok pun masih belum jelas. Sedangkan para intelektual muda yang gagah berani itu, lebih baik memfokuskan pada hal-hal yang lebih bermanfaat dan mendatangkan keuntungan personal, seperti: belanja, mengencani pacar, menghadiri diskusi-diskusi ilmiah, membicarakan kepitalisme dan bobroknya negara.
    Kalau pun, negara ini batal untuk bubar dan keadaan tetap sama; bahkan lebih parah, remaja-remaja kita memang harus sesegera mungkin mengadakan forum-forum diskusi untuk membicarakan betapa oportunisnya rakyat yang mau menerima serangan fajar dan datang ke TPS. Mereka harus segera mencari janda-janda tua alias si biang keladi terpilihnya politisi-politisi busuk. Atau kalau perlu, mempertanyakan apa isi otak janda-janda tua itu hingga mereka mau datang ke TPS untuk nyoblos sesuatu yang bakal menyiksa mereka lima tahun mendatang.
    Ya, penelitian tentang seberapa masokis kehidupan rakyat Indonesia ini hingga masih mau melanggengkan politik uang para caleg keparat. Memang garda terdepan bangsa ada di tangan pemuda-pemuda berkarakter yang tak kenyang-kenyang menyusu universitas dan diktat-diktat kuliah. Nasib bangsa ini memang ada di tangan remaja-remaja yang tidak lahir dari rahim jadah bangsa tolol. Karena kebijaksanaan kita sudah basi, sehingga remaja-remaja kita harus mengimpor kontainer-kontainer eropa yang lux.
    Setelah bangsa ini beres di tangan remaja-remaja kita yang sombongnya masyaallah, barulah kita bersama-sama datang ke TPS. Karena semua persoalan bangsa telah diselesaikan oleh generasi muda kita. DPR yang kita pilih bukan lagi iblis laknat. Presiden yang kita pilih, adalah sebenar-benarnya penyelamat hajat hidup orang banyak.
    Tepuk tangan untuk remaja kita yang berani. Mari lempar telur busuk pada mereka yang datang ke TPS 9 April nanti.
    Remaja kita memang luar biasa. Dan harap dicatat, remaja di sini itu termasuk saya. Saya kebetulan tak bisa pulang dan ikut nyoblos karena pekerjaan saya di media tak mungkin ditinggal karena peristiwa laris manis ini.

    Citra D. Vresti Trisna
    Sampang, 8 April 2014

    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    Blogger news

    About

    Blogroll