• Bokep Maniak

    pop cash

    Kita (Orang Jalanan)



    Aku takut melirik ke belakang karena “kita” (orang jalanan) sudah bukan lagi menjadi “kita”. Kini “kita” hanya menjadi sekedar: aku, kau, kalian dan sebungkus permen kenangan yang kita jilati ketika rindu, ketika aku patah hati. Maafkan.
    Kau tentu mengerti bila dunia perkuliahan sangat melenakan. Buku, kembang kertas peradaban, perempuan, hipokrit, megalomaniak, revolusi cacing dan romantisme perjuangan. Semua itu adalah cita-cita kita bersama waktu masih hijau. Tapi hal itu pula lah yang kemudian memisahkan kita semua. Dosaku pada candu perkuliahan adalah menjadi kelas berbeda dan lupa bahwa kita semua manusia. Dosa yang terakhir adalah ketika dunia persma yang meninabobokkanku dan mungkin ratusan orang yang tiba-tiba menjadi merasa gagah lantaran telah membaca. Lalu mendongeng soal "Revolusi, buruh, tani, wacana nasional, taik kucing filsafat, dll" hassh
    Terus terang aku bingung harus bersedih atau sebaliknya melihat keadaanku yang seperti sekarang. Seorang mahasiswa kemput setengah bohemian yang punya cita-cita setinggi atap rumah kos kita dulu: hidup yang lebih baik dari sebelumnya dan selalu bersyukur dengan apa pun pemberian Tuhan.
    Sewaktu aku menyanyi di hadapan kalian dengan gitar yang dulu kerap kupakai, aku gemetar. Suara serak-keparat khas dulu pun banyak hilang lantaran aku sudah mulai menye-menye. Apa aku bayi tua jahanam dengan kepala besar yang merindu menyusu kalian karena tidak sekeras dulu?
    Ah kawan, mengapa pula matamu menusuk menembusi jantungku seperti ini? Andai kau tau bila aku pun benci bila hidup harus selalu memilih.
    Kalau dulu, dimata kalian, aku adalah burung yang terbang bebas dan nyalang mencari mangsa, sekarang aku hanya burung hilang sayapnya dan kedinginan di bawah toko universitas.
    Hari ini kalian mengajariku untuk kembali merasakan “sakit” yang dulu pernah hidup. Tapi dadaku sakit, napasku sesak, aku tak sanggup kembali dan menoleh lagi. Ya, ya, aku tak akan melupakan matamu, matamu yang tajam, Gin, dan kini harus basah lantaran menangisi aku yang sudah tidak lagi berani dengan arak.
    Hari ini, kalian ajari pula bagaimana cambuk sorot matamu bagi seorang yang lupa membalas budi dari hutang nyawa. Kawan, dengan apa aku harus membalas?
    Kawan, apa kalian kehilangan aku? Apa kalian pernah merasa memilikiku? Ah andai kalian tau bila aku tak pernah melupakan kenangan sebagai seorang nokturnal. Menyusun segala liturgi untuk memanggil hujan, memanggil sunyi yang membakari sampah kekosongan. Membakar tiap sentimentil dan rasa letih pada nasib. Dan seperti kata Cak Rori: bahwa hati selalu seperti petak-petak kamar kos yang menyimpan banyak hal yang pernah berarti. Kenangan itu berdiam dan menunggu kita mengunjunginya.
    Maaf, kawan. Bukan karena seorang perempuan seperti kau menuduh. Tapi lebih karena hidup harus jalan terus. Terus.
    Kalau ini sudah bukan lagi rumahku, bolehlah kalau kalian kuletakkan dalam ruang rahasia di dadaku. Ruangan yang hanya ada “kita” yang dulu, yang tertawa dengan tinju tangan mengacung-acung menantang hidup dan matahari.

    Belum Ada Judul

    Pernah kita sama-sama susah
    Terperangkap di dingin malam
    Terjerumus dalam lubang jalanan
    Digilas kaki sang waktu yang sombong
    Terjerat mimpi yang indah
    Lelah

    Pernah kita sama-sama rasakan
    Panasnya mentari hanguskan hati
    Sampai saat kita nyaris tak percaya
    Bahwa roda nasib memang berputar
    Sahabat, masih ingatkah kau?

    Sementara hari terus berganti
    Engkau pergi dengan dendam membara
    Di hati

    Cukup lama aku jalan sendiri
    Tanpa teman yang sanggup mengerti
    Hingga saat kita jumpa hari ini
    Tajamnya matamu tikam jiwaku
    Kau tampar bangkitkan aku
    Sobat

    Sementara hari terus berganti
    Engkau pergi dengan dendam membara
    Di hati


    Iwan Fals

    cdvt

    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    Blogger news

    About

    Blogroll