Perjalanan untuk hidup; menghidupkan seseorang dari kematian dalam raga hidup. Sudah lama sekali dunia penuh sesak. Mungkin sudah begitu banyak orang, tapi tak banyak yang benar-benar manusia. Meski banyak pemahaman dan kebijaksanaan yang diobral di mesjid, sekolah, universitas dan forum-forum diskusi, tapi tak kunjung membuat jumlah "manusia" bertambah, hanya istilah dan definisinya saja yang melimpah. Kata Gamal—seorang kawan, pengamen dan “filusuf” yang dianggap gila—berujar sinis “mengapa sekarang banyak bencana, karena tidak ada orang tau dirinya (manusia), mereka seperti itu karena hidupnya terlalu kaku, kering, dan di rumah saja. Seharusnya mereka bepergian dan melakukan perjalanan untuk mengenal sebangsanya. Mencari emas yang dijanjikan.” Ujarnya, lalu tertawa.
“Jaman sekarang, mana yang lebih penting: puisi atau perjalanan petualangan?”
Pertanyaan itu aku dapat dari celetukan seseorang di sebuah warung saat mengikuti acara TPM (Temu Penyair Muda) di Semarang. Ada yang mengganjal di kedalamanku ketika mendengar celetukan itu. Menikam subyektifitasku yang saat itu mengidentifikasi diri sebagai penyair. Bagaimana mungkin puisi dihardik dengan begitu keji, seakan ia adalah anak jadah kebudayaan. Diam-diam aku membayangkan diriku sebagai Nelson Mandela yang bertahan dalam penjara lantaran puisi memberi “roh” dan semangat hidup.
Aku telah membaca demikian banyak puisi. Mestinya aku bisa melewati cercaan macam ini.
Di tengah acara, sewaktu Afrizal Malna memberikan workshop penulisan puisi, ia menyuruh seorang peserta menggambarkan isi ruangan gendung lantai dua dan menggambarkan dalam puisi. Eurekaa! Peserta yang ditunjuk Afrizal akhirnya menggambarkan isi gedung lantai dua dengan bahasa yang meliuk-liuk, rumit, dan mendayu-dayu. Hampir-hampir aku hilang dalam puisinya. Entah karena puisi itu begitu baik, atau aku saja yang bodoh, sehingga aku gagal menemukan gambaran dari isi gedung lantai dua yang kebetulan jadi objek. Realitas dan substansi yang harusnya dihadirkan seperti hilang begitu saja. Kemana realitas itu pergi? Hanyut dalam kata-kata yang meliuk-liuk itu kah? Atau...
Apakah selama ini penyair—dengan puisinya—mencoba melenyapkan realitas? Mengkonstruksi dan menghadirkan kembali “realitas baru” yang tidak ramah di akal?
Kata seorang kawan, “hidup sudah rumit, mengapa mesti diperumit dengan puisi.” Cukup masuk akal, pikirku. Meskipun aku tidak bisa menafikkan puisi-puisi Wiji Tukul yang merangsek dan meledakkan penyumbat kesadaran nurani.
Kini, banyak kujumpai puisi yang memisahkanku dari realitas lantaran metafornya terlalu melangit. Apa puisi, dengan metafornya, hendak memisahkan kita dari realitas? Kalau itu benar, mengapa sampai sekarang puisi masih dicetak rapi? Bukankah dalam sekali hidup kita perlu mereguk banyak pelajaran dari realitas; memahaminya, agar tetap terjaga dari banyak hal yang melenakan?
Realitas hidup yang di-insyafi sebagai pelajaran adalah salah satu hal yang membuat kita tetap menjadi manusia. Dulu aku percaya bila seorang penyair selalu dekat dengan perjalanan; petualangan. Mereka mengolah banyak pelajaran hidup dari pergulatannya dengan realitas yang ditemuinya di sepanjang perjalanan; menjadi ruh dalam sajak-sajaknya. Namun, ada peristiwa yang membuat aku kembali berpikir bila seorang penyair akrab dengan perjalanan; dengan realitas. Suatu malam, aku menjemput seorang kawan penyair dan seorang aktivis organ gerakan mahasiswa. Malam itu aku tidak langsung membawanya ke tempat tujuan, melainkan mampir ke pelacuran paling tengik di stasiun Wonokromo Surabaya untuk sekedar ngopi. Awalnya aku pikir pelacuran di rel-rel kereta sudah akrab bagi keduanya. Tapi ternyata aku keliru. Aku mendapati air muka kedua kawanku berubah ketika melihat sekumpulan wanita paruh baya yang menunggu dikencani. Juga ketika mereka tau bila dibelakang warung ada petak-petak kamar darurat dari terpal yang diperuntukkan bagi para PSK melayani tamunya. Lalu kedua kawanku sama-sama bercericau dan sibuk mempertanyakan ketimpangan hidup yang kini hadir di depan matanya.
Saat itu juga, aku ikut terkesiap. Aku kembali teringat puisi-puisinya yang membicarakan pelacuran sebagai fragmen yang tak selesai. Dalam setiap lariknya mengesankan seakan-akan penulisnya lebih sakti dan lebih “jalang” dari Chairil. Robohnya kawanku membawa pertanyaan tersendiri bagi proses kreatifnya. Pelacur dalam sajak-sajaknya itu berangkat dari realitas yang mana? Dan untuk gemetarnya kawanku dengan apa yang dijumpainya malam itu, membuatku juga ingat tentang orasi-orasinya yang seakan-akan memperjuangkan nasib rakyat dengan idiologi yang cemas. Juga orasinya tentang kaum-kaum yang termarginalkan.
Berbicara soal rakyat dan kaum termarginalkan, bagiku tetap mencurigakan. Karena kalau yang dimaksudkan itu rakyat, maka rakyat yang mana? Apa para hidup para PSK di sini kurang termajinalkan hingga mereka harus nyelempitdi rel-rel kereta untuk sekedar makan, beli bedak dan gincu?
Tidak selamanya puisi para penyair berangkat dari realitas. Tidak selamanya puisi dihidupkan dari realitas. Bukankah teori dan strategi mengotak-atik kata menjadi semacam makruh yang mendapat legitimasinya hingga menjadi mubah.
Boleh jadi, penipuan atau korupsi realitas seorang penyair dengan maksud agar dapat lebih hiperbolis sudah jadi trend. Mungkin diksi-diksi lahir dan diperoleh dari negeri antah brantah. Mencomot sembarangan dari buku-buku sosial yang memotret realitas dalam angka-angka statistik.
Apa Nelson Mandela telah dikuatkan dengan sajak-sajak karbitan dari penyair yang hidupnya bebodoran?
Kalau membaca puisi adalah bertualang di luasnya imaji dan realitas, apa berarti hidup dipenuhi matahari palsu dari puisi-puisi tanpa sejarah? Apakah membaca puisi di jaman sekarang adalah sebentuk perayaan nilai?
Malam itu juga aku kecewa dengan dunia kepenyairan. Mungkin ada benarnya bila perjalanan itu jauh lebih berarti dari puisi jaman facebook.
Perjalanan Menjadi Manusia
Hidup adalah serangkaian perjalanan untuk “melengkapi” hidup. Mendempul ceruk-ceruk bopeng pada muka peradaban. Tapi perjalanan seperti apa yang kita butuhkan saat ini?
Perjalanan akan membuat kita merasa lebih hidup. Meminjam islitah Goenawan Muhamad, tidak ada yang final dalam kehidupan manusia. Aku suka ungkapan ini karena menyadarkan untuk senantiasa menggenapi kehidupan dengan petualangan. Ceruk-ceruk yang membuat wajah manusia kebanyakan jadi nampak bopeng mesti dilengkapi dengan kesadaran untuk mencermati realitas hidup. Mempelajarinya hingga semuanya menjadi serangkaian kesadaran nurani.
Semua tidak selesai dengan berdiam di rumah. Kesadaran nurani dan kematangan hidup tidak didapat tanpa usaha. Tanpa bergesekan antara satu dengan yang lain. Termasuk menelan pil pahit hidup ketika menerima kenyataan bila hidup kerap tak seperti yang diharapkan. Melakukan perjalanan adalah jalan untuk menggenapi hidup dan menelan pil pahit itu. Perjalanan pula yang membuat kita sedikit lebih tau tentang hidup orang lain. Bukankah dunia jadi nampak membosankan ketika setiap orang hanya mau tau hidupnya sendiri. Mungkin kata-kata Gamal ada benarnya di sini. Saat ini hidup orang kebanyakan nampak begitu kering dan kaku, mungkin pada saat itu pula seseorang kehilangan dirinya.
Kini perjalanan bukan lagi menjadi hal yang menarik bagi kebanyakan orang. Kalau pun perjalanan dilakukan, bisa dipastikan hanya sekedar “wisata dan tour”, menjadi banci kamera dan ajang eksistensi. Perjalanan yang dipahami orang sekarang adalah perjalanan sebagai turis, bukan sebagai manusia yang melihat, mendengar dan mencatat untuk belajar banyak dari apa yang terjadi di luar. Perjalanan juga salah satu upaya manusia mengenal dirinya. Mengenal satu sama lain untuk bergesekan dengan realitas yang ada. Sehingga tau diri selalu bermula dari adanya interaksi sosial antara satu orang dengan lainnya, dengan lingkungannya. Tanpa itu semua, kita hanya akan ada pada keadaan sakit jiwa kolektif.
Hal ini mengingatkan aku pada sekitar abad 17, ketika suara keputusasaan bergaung. Waktu itu orang-orang Eropa berteriak-teriak bila “dunia sedang sakit”. Dengan pernyataan sinis ini kita dibuat bertanya: “mungkinkah kolektifitas terbentuk tanpa individu-individu?”. Kalau ungkapan ini benar, berarti sakit jiwa kolektif selalu dimulai dengan adanya degradasi individu Tapi, di sini saya tidak hendak mengatakan bila seseorang yang “berhenti” adalah mereka yang mengalami degradasi. Juga saya tidak ingin menyalah artikan kediaman sebagai sesuatu yang dekaden dan mengurangi kepekaan. Namun, saya ingin mengatakan dunia sedang jengah. Ia butuh hal baru yang mungkin bisa menjadi renungan, menjadi antitesis dari apa yang telah mapan dan dituhankan.
Perjalanan selalu mempunyai cara yang mistis untuk mempertemukan kita dengan hal-hal baru. Sesuatu yang awalnya kita pikir “telah mapan” ternyata tak pernah selesai. Kalau awalnya Gereja hanya menganggap dunia itu flat dengan ujung berupa jurang yang dalam, hal itu menemui antitesisnya ketika perjalanan-perjalanan mulai dilakukan. Meski motifnya awalnya perrjalanan dilakukan untuk penguasaan dan kejayaan kolonial, tapi, paling tidak ada sesuatu yang dibuktikan waktu itu.
Ketika dunia jengah dengan sesuatu yang basi; ketika ritus penuhanan kemapanan sesat tidak bisa dibendung; perjalanan akan menjadi sesuatu yang mengembalikan itu semua. Memurnikan kesadaran lewat terpaan debu-debu di sepanjang perjalanan yang memberikan sesuatu yang magis. Dunia harus kembali sembuh dari “sakit jiwa massal”. Setiap orang harus kembali menemui kesadarannya sebagai manusia.
Mungkin Nelson Mandela bisa dapat kekuatannya lewat puisi. Dan mungkin juga puisi-puisi kala itu masih punya kejayaannya sebagai wakil dari realitas. Tapi, untuk saat ini... Kalau puisi saat ini tak bisa menemukan realitasnya, maka kita yang harus keluar rumah. Menyingkirkan buku panduan tur, tapi menyiapkan mata, telinga, dan mencatat apa saja yang kita perlukan sebagai pengasah kesadaran.
Puisi memang tak boleh berhenti ditulis, sebagaimana perjalanan juga butuh untuk diteruskan.
Citra D. Vresti Trisna
Akhir Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar