HIPOKRIT
Seseorang mengataiku seorang HIPOKRIT. Sudahlah, itu masih lebih indah ketimbang menjadi seseorang yang barbar, yang buru-buru percaya pada perjuangan dan buru-buru melupakan dan memaki habis orang yang diperjuangkan. Ini bukan romantisme, tapi aku ingat apa yang dikatakan Ernesto. Kurang lebih seperti ini: “di Bolivia aku merasakan perjuangan yang sesungguhnya.” Berjuang untuk orang-orang yang tak mengerti bila sedang diperjuangkan. Berjuang untuk orang-orang yang apatis; berjuang melawan dalam kediaman yang dingin.
Ernesto adalah seseorang yang melankolik. Orang yang sentimentil dengan banyak keadaan yang terjadi di sekitarnya. Tapi ia hanya tau menekan pelatuk untuk sesuatu yang diyakininya “benar”; perang adalah soal membunuh atau terbunuh.
Dalam sebuah perjuangan sikap sentimentil dan kerinduan, terkadang, boleh disalahkan. Tapi dengan sikap tuli pada apa, siapa dan bagaimana yang diperjuangkan. Ia hanya tau memasuki lembah-lembah gelap yang JAUH DARI RUMAH dan tetap tidur dengan teror bom dan desingan senjata demi sesuatu yang diyakininya. Meninggalkan anak istri untuk hal besar yang diyakininya. Saat muda, Ernesto meninggalkan kekasih yang begitu disayanginya demi perjalanannya ke Amerika Selatan sebagai seorang lelaki dan untuk mengikuti sindrom dan virus aneh dalam otaknya yang membawanya menjadi gembel di jalanan. Seingatku, (mungkin salah, tapi semoga benar) ia tidak merengek untuk kekasihnya yang diambil orang.
Tapi di lain pihak aku ingin berterimakasih pada orang yang mengata-ngatai aku. Mataku hanya melihat apa yang ada diluar diriku. Mungkin di suatu ketika aku kalap dengan hatiku hingga aku menjadi begitu hipokrit, aku minta maaf pada semua orang yang merasa terlukai dengan kekurangan yang ada pada diriku. Lagipula aku tak perlu serius bertanya: mengapa orang lain merasa tersiksa dengan kekurangan yang ada padaku. Padahal di luar sana, orang-orang besar yang telah matang, merasa tersiksa dengan kekurangan di dirinya. Ada yang sampai menangis. Semoga kau menangis untuk kekuranganmu sendiri, kawan.
Selamat berjuang. Aku hanya ingin mengikuti dan mendengar bagaimana kau berjuang. Kalah dan menang hanya hasil yang mesti diakui secara jantan. Bukan menutupi kegagalan dengan serangkaian argumen yang berhasil dipelajari di bangku kuliah dan buku-buku marxis.
Citra D. Vresti Trisna
29 Februari 2012
0 komentar:
Posting Komentar